Kamis, 03 April 2008

Diujung Persimpangan


Diujung Persimpangan

Oleh Ulfah Mutia Hizma

“Ma….aku minta izin menikah lagi…” suara suamiku yang pelan seakan menggelegar di malam yang tenang ini. Aku tatap wajah suamiku. Aku ingin meyakinkan diriku bahwa ini hanya guyonan saja seperti yang sering dia lakukan padaku bila sedang menggodaku. Tetapi….“Ya Tuhan, tidak….dia serius!” Lima tahun sudah bahtera rumah tangga ini kami lalui. Tidak ada pertengkaran yang berarti antara kami berdua maupun antara kami dan anak-anak. Hari-hari lebih sering kami lewati dengan kelakar-kelakarnya yang selalu menghidupkan suasana dirumah kami. Anak-anak pun tidak bisa jauh dari Bapaknya. Bila kami berkumpul mereka seakan berlomba untuk meramaikan rumah ini. Aku merasa kehidupan yang aku jalani ini sudah lengkap. Tidak ada yang ku inginkan lagi kecuali merencanakan kehidupan anak-anakku kelak, dan kehidupan kami berdua di hari tua nanti, tetapi malam ini dia mengeluarkan kalimat yang bisa menghancurkan semua impianku.

Malam itu aku memilih tidak menjawab. Aku berikan senyum terbaikku yang selalu dia banggakan pada teman-temannya bila berkumpul dan mengingatkan padanya bahwa sudah waktunya untuk tidur karena besok bukan hari libur. Aku tidak tahu apa yang ada dipikirannya melihat sikapku tetapi aku berharap dia memahami bahwa ini bukan keputusan yang mudah bagiku, mungkin hanya dengan menjawab ‘boleh atau tidak’ urusan sudah selesai. Bagiku masih banyak yang harus dipikirkan. Banyak dan banyak lagi.

Seminggu sudah sejak dia mengungkapkan keinginannya, aku masih belum memberikan jawaban juga. Aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Melayani anak-anak dan suamiku dengan sebaik-baiknya. Aku tahu dia masih menunggu jawabanku. Aku tahu dari tatapan matanya, bila tanpa sengaja kami bertatapan. Aku ingat, tatapan mata itulah yang membuatku akhirnya mengambil keputusan untuk menikah dengannya. Tatapan mata yang tajam seperti Elang seakan mengungkap cinta yang tak pernah habis yang dia pancarkan setiap perjumpaan kami.
“Ina…Lu tahu kagak, lakinya Mariam nikah lagi loh…, Mariam shock banget, ampe mo bunuh diri die…” . Aku kaget mendengar berita yang disampaikan temanku melalui telepon pagi itu. Aku termangu begitu mudah kah seorang lelaki untuk berpindah ke lain hati. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana Mariam dan Jodi saling mencintai. Mereka seperti iklan ‘sari rapet’, maunya rapet mulu. Di mana ada Mariam, di situ ada Jodi. Begitu juga sebaliknya. Tapi kenapa ini bisa terjadi? Mereka membina mahligai pernikahan lebih muda dua tahun dibanding kami. Aku masih ingat bagaimana Mariam sering meledekku yang saat itu belum mempunyai pacar. Katanya aku akan menjadi perawan tua yang kesepian karena tidak pernah merasakan indahnya cinta.

Aku sering tersenyum bila mengingat kata-katanya karena hal yang dia takutkan tidak terjadi padaku. Aku bisa merasakan cinta dan aku senantiasa berbunga-bunga sepanjang lima tahun pernikahan kami ini. Kisah percintaan kami memang tidak seperti kisah Mariam-Jodi yang bertahun-tahun berpacaran sampai akhirnya mengambil keputusan untuk menikah.
Aku yang saat itu sedang dilanda krisis kepercayaan tentang makna cinta dipertemukan dengan suamiku ini. Dia laksana pangeran yang datang di tengah kegelapan dengan membawa sinar yang sangat terang. Siapa pun yang melihatnya akan terkesima. Salah satunya aku. Malam itu saudara sepupuku sedang menerima lamaran. Aku sebagai bagian dari keluarga pihak perempuan ikut berkumpul untuk menerima keluarga pria. Di antara kumpulan orang yang ada malam itu, aku melihat sosoknya. Aku terpesona dengannya. Saat itu aku tidak tahu inikah yang namanya cinta pada pandangan pertama. Secara tidak sengaja, dia pun melihatku sehingga selama acara berlangsung kami saling bertatapan. Kami bicara melalui tatapan mata kami. Seperti ada hubungan batin antara aku dan dirinya. Anehnya, setelah acara selesai aku atau dia tidak ada yang berani mendekat untuk menyapa. Kami berpisah begitu saja malam itu. Sejak itu aku sudah tidak berharap lagi akan kedatangan sosoknya, hingga suatu hari calon suami sepupuku datang bersama dirinya. Bunga-bunga di hatiku yang sudah kuncup seakan mekar kembali. Kami pun memulai kisah cinta. Kisah cinta yang singkat. Kami hanya menjalani masa perkenalan selama tiga bulan. Setelah itu kami sepakat untuk menikah.

Aku masih belum bisa mengerti apa yang diinginkan suamiku. Ada rasa sakit di hati ini. Aku merasa cinta yang kuberikan selama ini ternyata dikhianati, tetapi aku masih punya hormat padanya. Dia masih mau mendengar pendapatku terlebih dulu sebelum mengambil keputusan itu. Itu berarti dia masih menghargai diriku, setidaknya menyadari keberadaanku. Meskipun begitu rasa sakit ini terus menggeroti hati dan pikiranku. Aku tetap tidak menerima suamiku berbagi dengan perempuan lain. Aku tidak bisa menerima anak-anakku akan memanggil mama pada orang lain, selain aku. Kadang aku menangis diam-diam di tengah malam ketika suami dan anak-anakku sudah terlelap tidur.

Inikah akhir cinta kami? Inikah arti pernikahan yang selama ini digembar-gemborkan sebagian orang sebagai pertautan cinta antara dua makhluk yang berbeda jenis kelamin? Mengapa harus ada masa seperti ini, di mana seorang lelaki mulai melirik bunga baru di taman lain yang mungkin lebih segar dan lebih harum. Di sisi lain, sang perempuan hanya menerima begitu saja, bahkan cenderung pasrah tanpa berani bersikap dan mungkin menyalahkan diri sendiri. Rasa saling percaya yang dibangun sedikit demi sedikit seiring berjalannya waktu mahligai perkawinan seakan luluh-lantak begitu saja, tanpa ada tanda-tanda keretakan di sana-sini yang menandai datangnya badai kehancuran.

Aku minta petunjuk pada Pemilik bumi dan segala isinya. Aku memohon petunjukNya, sampai akhirnya aku memantapkan keputusanku. Aku tidak mau terlihat lemah dengan memutuskan kehidupan yang diberikanNya dengan jalan yang singkat. Aku juga tidak mau kehilangan harga diriku sebagai perempuan yang setidaknya pernah dicintainya selama lima tahun ini. Aku sendiri tidak tahu apakah dia sekarang masih mencintaiku atau tidak. Aku juga tidak mau masa depan anakku menjadi suram karena hubungan yang buruk antara kami. Aku sudah mantap dengan keputusan ini. Aku akan membicarakan dengan suamiku malam ini, setelah ia pulang kerja nanti. Aku tidak tahu lagi apakah ini keputusan yang terbaik yang aku berikan atau tidak. Setidaknya, ini lah keputusan terbaik bagi diriku. “Anak-anakku… Maafkan Mama, bila keputusan ini mengecewakan kalian. Mama tidak mau menyakiti diri Mama maupun diri kalian semua. Mama mencintai kalian semua.” Itulah kata-kata yang selalu menyeruak dalam hatiku.

Aku pun memberikan jawaban yang sudah ditunggu-tunggu. Suamiku terpaku mendengar jawaban yang telah aku endapkan selama dua minggu ini. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Tugasku sekarang menunggu jawabannya, apakah ia akan memilih meninggalkan rumah kami atau tetap mempertahankan statusku sebagai istri dan ibu tunggal bagi anak-anak kami di rumah ini, tanpa berbagi dengan bunga di taman yang lain.]
Jakarta, January 19, 2005

Tidak ada komentar: